13 September 2013 // persindonesia.com
KETRTA DALEM DENPASAR
- Seseorang yang me-Diksa tentu sudah memenuhi syarat-syarat
formal,diantaranya menemukan Nabe yang bersedia mengangkatnya menjadi
Oka(murid). Adalah seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat
baik lahir maupun bathin.mampu melepaskan diri dari ikatan
keduniawian,tenang dan bijaksana,selalu berpedoman kepada Kitab Suci
Weda,paham dan mengerti tentang Catur Weda,mampu membaca Sruti dan
Smrti,teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan
kebajikan) teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya diterima secara resmi menjadi murid/ Oka dengan upacara
“Meperas Dados Oka” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde/Diksita”
(murid utama untuk belajar kesucian). Sejak saat itu Jero Gde/Diksita
“aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Sulinggih sambil
mempersiapkan mental dan perilaku suci agar memenuhi persyaratan
spiritual.
Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian
Nabe. Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan
kelengkapan administrasi seperti:
Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten/Kota,Surat Keterangan
berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan,
persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah
menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada
calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa
(ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat
maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga”,untuk
menghilangkan “sadripu” calon Diksa. Setelah seda raga, dilaksanakan
upacara Diksa sehingga “lahirlah seorang Dwijati” yang sudah berubah
dibanding ketika masih “walaka”
Upacara Seda-Raga, yaitu suatu upacara yang dilakukan sebelum
“me-Diksa” menjadi Brahmana (Pandita). Prosedur mati seperti wafatnya
Panca Pandawa: mulai dari kaki (Nakula-Sahadewa), suhu badan
menurun-dingin (Arjuna), tenaga (Bima), terakhir: Atman(Yudistira).
Sedangkan
yang memindahkan atman ke “daksina lingga” adalah Nabe. Mula-mula
Diksita duduk di depan beliau dan seluruh tubuh dibungkus kain kafan
dengan rerajahan tertentu. Dengan mantra-mantra khusus,menjadikan
Diksita mati raga.
Setelah mati
raga kemudian diusung oleh keluarga dan ditidurkan di bale,tetap dengan
rurub dan ada banten pengabenan lengkap. Dilanjutkan oleh puja Nabe
menghantarkan atman dari Diksita ke alam nirwana,disertai doa,doa para
nabe (nabe Guru Waktra & Nabe Guru Saksi) dalam bahasa sansekerta.
Tujuan Seda/mati raga adalah untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa.
Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga “lahirlah
seorang Dwijati” yang sudah berubah dibanding ketika masih
“walaka”,mengetahui jalan ke nirwana sehingga bila jadi Sulinggih, nanti
bisa menuntun atma-atma yang diupacarai Pitra Yadnya dan bahkan bisa
menasihati mereka yang disebut dalam istilah di Lontar yaitu Ngentas
atma. Jadi kalau belum melalui upacara seda raga, belum bisa,belum
siap,belum boleh muput Pitra Yadnya.
Proses Diksa/Penobatan Sulinggih.
Seseorang yang me-Diksa tentu sudah memenuhi syarat-syarat
formal,diantaranya menemukan Nabe yang bersedia mengangkatnya menjadi
Oka(murid). Diksita adalah seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan
sehat baik lahir maupun bathin.mampu melepaskan diri dari ikatan
keduniawian,tenang dan bijaksana,selalu berpedoman kepada Kitab Suci
Weda,paham dan mengerti tentang Catur Weda,mampu membaca Sruti dan
Smrti,teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan
kebajikan) teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya diterima
secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus
pawintenan menjadi “Jero Gde/Diksita” (murid utama untuk belajar
kesucian). Sejak saat itu Jero Gde/Diksita “aguron-guron” (belajar teori
dan praktik) menjadi Sulinggih sambil mempersiapkan mental dan perilaku
suci agar memenuhi persyaratan spiritual.
Lamanya masa
aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe. Apabila dinilai sudah
cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi
seperti:Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten/Kota,surat
keterangan berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat
pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik
kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa
Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi
syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga yang akan melahirkan seorang Dwijati.
Tgl 13 September 2013
Pelaksanaan Upacara Mediksa Jero Gde Okin Adiyana/Bhawati,”Seda Raga”.
Dimulai dengan Upacara melaspas mendem pedagingan/dasar,dengan tujuan
merubah setatus rumah/Kediaman menjadi Gria,upacara dilaksanakan secara
lengkap disertai baris,rejang,wayang lemah,Topeng Sida Karya.
Jero
Mangku Gde Okin Adiyana/Bhawati melakukan upacara Seda Raga sebagai
puncak upacara Pediksan menjadi seorang Brahmana Dwijati. Proses Upacara
dimulai sejak sore hari dimulai dengan puja dari para Nabe.Seda Raga
dilaksanakan sekitar jam 6 sore ,atma Sang Diksita dientas dipindahkan
ke Daksina Lingga oleh Nabe ,setelag seda raga/mati raga kemudian raga
kosong tersebut dipindahkan ke bale, seda raga dilaksanakan hingga
keesokan jelang pagi. Diksita diperlakukan selayaknya sebagai seorang
yang sudah meninggal dunia,lengkap dengan banten Pengabenan lengkap.
Keesokan jelang pagi para nabe mengembalikan atman diksita dimasukkan
kembali ke badannya dengan mengunakan doa mantra, membangunkan dan
kembali seperti sediakala,namun diartikan telah dilahirkan kembali
menjadi seorang Dwijati,sekaligus berhak mengunakan prucut (rambut yang
diikat ke bagian atas kepala) , dilanjutkan dengan Ngelinggihan
Weda/Puja , Mepulanglingga,jadilah Sang Brahmana Dwijati Abhiseka “Ida
Panditha Sri Begawan Penyarikan Cista Dharma Jnah Dwija Loka”.
Tgl 14 September 2013, dimulai sejak jam 8 pagi masyarakat sekitar
beserta undangan dari berbagai kalangan datang berduyun ke Gria taman
Sari Sida karya,guna mengucapkan selamat kepada Ida Panditha Sri
Bhagawan Penyarikan,diantaranya yang hadir ; Ketua Pesemetonan
Bali-Fukuoka Jepang AA Ngr Gde Widiada,bersama Konsul Jepang,tokoh
masyarakat,dll. Secara Khusus perwakilan PHDI Bali ikut hadir sebagai
saksi sekaligus lisensi telah sah menjadi Brahmana Dwijati,sekaligus
mengucapkan selamat,dalam sekapur sirihnya mewakili PHDI Bali
memaparkan ;
Dengan bertambahnya
sulinggih di bali diharapkan akan membawa Bali kearah yang lebih baik
lagi,melalui doa-doa yang dilakukan oleh para sulinggih(Nyurya
Swana),kesucian Bali akan membawa keseimbangan kehidupan bagi kita
semua,demikian diungkapkan seraya mengharap agar Ida Pandhita Sri
Bhagawan Penyarikan sebagai Sulinggih yang baru tetap memegang komitment
memegang Dharma seorang Brahmana Dwijati/Sulinggih.
Ida Panditha Sri Bhagawan Penyarikan secara singkat mengungkapkan ,
komitment akan tetap melaksanakan Dharma sebagai seorang
Sulinggih,karena telah merupakan pituduh/jalan hidup yang diberikan oleh
Hyang Siwa/Hyang Maha Kuasa,melaksanakan Dwijati Seda Raga dan kini
telah terlahir sebagai Brahmana Dwijati, suatu kebahagiaan telah menjadi
abdi Siwa sekaligus mengimplementasikan pegabdian diri ke dalam Dharma
Agama dalam kehidupan. Sesuai dengan Dharma seorang Bramana
Dwijati,demikian ungkapan Ida Sri Bhagawan Penyarikan.
Secara
singkat Ida Sri Bhagawan Penyarikan menuturkan pengalamannya saat
melakukan seda raga “ jiwa terasa terlepas dari badan,melayang
berputar-putar ,dan bisa melihat jasad kita mati/seda terlentang di atas
balai,mati bukan sesuatu yang menakutkan,namun sebuah
kesucian,keindahan untuk menuju sesuatu hal yang baru,demikian.
(Gus & dari berbagai sumber), Persindonesia.com
Untuk Foto Kegiatan Lihat di bawah ini